Oleh : Al Ustadz Yusuf Qardawi
Ini ada hubungannya dengan masalah
menundukkan pandangan yang oleh dua ayat di surah An Nur 30-31, Allah
perintahkan kepada laki-laki dan perempuan.
Adapun yang khusus buat orang perempuan dalam ayat kedua (ayat 31) yaitu:
a) Firman Allah:
“Janganlah orang-orang perempuan menampakkan perhiasannya, melainkan apa yang biasa tampak daripadanya.”
Yang dimaksud perhiasan perempuan, yaitu
apa saja yang dipakai berhias dan untuk mempercantik tubuh, baik
berbentuk ciptaan asli seperti wajah, rambut dan potongan tubuh, ataupun
buatan seperti pakaian, perhiasan, make-up dan sebagainya.
Dalam ayat di atas Allah memerintahkan
kepada orang-orang perempuan supaya menyembunyikan perhiasan tersebut
dan melarang untuk dinampak-nampakkan. Allah tidak memberikan
pengecualian, melainkan apa yang bisa tampak. Oleh karena itu para ulama
kemudian berbeda pendapat tentang arti apa yang biasa tampak itu dan
ukurannya. Apakah artinya: apa yang tampak karena terpaksa tanpa
disengaja, misalnya terbuka karena ditiup angin; ataukah apa yang biasa
tampak dan memang dia itu asalnya tampak?
Kebanyakan ulama salaf berpendapat
menurut arti kedua, Misalnya Ibnu Abbas, ia berkata dalam menafsirkan
apa yang tampak itu ialah: celak dan cincin.
Yang berpendapat seperti ini ialah
sahabat Anas. Sedang bolehnya dilihat celak dan cincin, berarti boleh
dilihatnya kedua tempatnya, yaitu muka dan kedua tapak tangan.
Demikianlah apa yang ditegaskan oleh Said bin Jubair, ‘Atha’, Auza’i dan
lain-lain.
Sedang Aisyah, Qatadah dan lain-lain
menisbatkan dua gelang termasuk perhiasan yang boleh dilihat. Dengan
demikian, maka sebagian lengan ada yang dikecualikan. Tetapi tentang
batasnya dari pergelangan sampai siku, masih diperselisihkan.
Di samping satu kelonggaran ini, ada
juga yang mempersempit, misalnya: Abdullah bin Mas’ud dan Nakha’i. Kedua
beliau ini menafsirkan perhiasan yang boleh tampak, yaitu selendang dan
pakaian yang biasa tampak, yang tidak mungkin disembunyikan.
Tetapi pendapat yang kami anggap lebih
kuat (rajih), yaitu dibatasinya pengertian apa yang tampak itu pada
wajah dan dua tapak tangan serta perhiasan yang biasa tampak dengan
tidak ada maksud kesombongan dan berlebih-lebihan, seperti celak di mata
dan cincin pada tangan. Begitulah seperti apa yang ditegaskan oleh
sekelompok sahabat dan tabi’in.3
Ini tidak sama dengan make-up dan
cat-cat yang biasa dipakai oleh perempuan-perempuan zaman sekarang untuk
mengecat pipi dan bibir serta kuku. Make-up ini semua termasuk
berlebih-lebihan yang sangat tidak baik, yang tidak boleh dipakai
kecuali di dalam rumah. Sebab perempuan-perempuan sekarang memakai itu
semua di luar rumah, adalah untuk menarik perhatian laki-laki. Jadi
jelas hukumnya adalah haram.
Sedang penafsiran apa yang tampak dengan
pakaian dan selendang yang biasa di luar, tidak dapat diterima. Sebab
itu termasuk hal yang lumrah (tabi’i) yang tidak bisa dibayangkan untuk
dilarangnya sehingga perlu dikecualikan. Termasuk juga terbukanya
perhiasan karena angin dan sebagainya yang boleh dianggap darurat. Sebab
dalam keadaan darurat, bukan suatu yang dibuat-buat. Jadi baik
dikecualikan ataupun tidak, sama saja. Sedang yang cepat diterima akal
apa yang dimaksud istimewa (pengecualian) adalah suatu rukhsah
(keringanan) dan justru untuk mengentengkan kepada perempuan dalam
menampakkan sesuatu yang mungkin disembunyikan; dan ma’qul sekali (bisa
diterima akal) kalau dia itu adalah muka dan dua tapak tangan.
Adanya kelonggaran pada muka dan dua
taak tangan, adalah justru menutupi kedua anggota badan tersebut
termasuk suatu hal yang cukup memberatkan perempuan, lebih-lebih kalau
mereka perlu bepergian atau keluar yang sangat menghajatkan, misalnya
dia orang yang tidak mampu. Dia perlu usaha untuk mencari nafkah buat
anak anaknya, atau dia harus membantu suaminya. Mengharuskan perempuan
supaya memakai cadar dan menutup kedua tangannya adalah termasuk
menyakitkan dan menyusahkan perempuan.
Imam Qurthubi berkata: “Kalau menurut
ghalibnya muka dan dua tapak tangan itu dinampakkan, baik menurut adat
ataupun dalam ibadat, seperti waktu sembahyang dan haji, maka layak
kiranya kalau pengecualian itu kembalinya kepada kedua anggota tersebut.
Dalil yang kuat untuk pentafsiran ini ialah hadis riwayat Abu Daud dari
jalan Aisyah Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa Asma’ binti Abubakar pernah
masuk ke rumah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan berpakaian
tipis, kemudian Nabi memalingkan mukanya sambil ia berkata: “Hai Asma’!
Sesungguhnya perempuan apabila sudah datang waktu haidhnya (sudah
baligh) tidak patut dinampakkan badannya, kecuali ini dan ini — sambil
ia menunjuk muka dan dua tapak tangannya.”
Sedang firman Allah yang mengatakan:
“Katakanlah kepada orang-orang mu’min laki-laki supaya menundukkan
pandangan” itu memberikan suatu isyarat, bahwa muka perempuan itu tidak
tertutup. Seandainya seluruh tubuh perempuan itu tertutup termasuk
mukanya, niscaya tidak ada perintah menundukkan sebagian pandangan,
sebab di situ tidak ada yang perlu dilihat sehingga memerlukan
menundukkan pandangan.
Namun, kiranya sesempurna mungkin
seorang muslimah harus bersungguh-sungguh untuk menyembunyikan
perhiasannya, termasuk wajahnya itu sendiri kalau mungkin, demi menjaga
meluasnya kerusakan dan banyaknya kefasikan di zaman kita sekarang ini.
Lebih-lebih kalau perempuan tersebut mempunyai paras yang cantik yang
sangat dikawatirkan akan menimbulkan fitnah.
b) Firman Allah:
“Hendaknya mereka itu melabuhkan kudungnya sampai ke dadanya.” (An Nur: 31)
Pengertian khumur (kudung), yaitu semua
alat yang dapat dipakai untuk menutup kepala. Sedang apa yang disebut
juyub kata jama’ (bentuk plural) dari kata jaibun, yaitu belahan dada
yang terbuka, tidak tertutup oleh pakaian/baju.
Setiap perempuan muslimah harus menutup
kepalanya dengan kudung dan menutup belahan dadanya itu dengan apapun
yang memungkinkan, termasuk juga lehernya, sehingga sedikitpun
tempat-tempat yang membawa fitnah ini tidak terbuka yang memungkinkan
dilihat oleh orang-orang yang suka beraksi dan iseng.
c) Firman Allah:
“Dan hendaknya mereka itu tidak menampak-nampakkan perhiasannya terhadap suami atau ayahnya.” (An Nur: 31)
Pengarahan ini tertuju kepada
perempuan-perempuan mu’minah, dimana mereka dilarang keras membuka atau
menampakkan perhiasannya yang seharusnya disembunyikan, misalnya:
perhiasan telinga (anting-anting), perhiasan rambut (tusuk); perhiasan
leher (kalung), perhiasan dada (belahan dadanya) dan perhiasan kaki
(betis dan gelang kaki). Semuanya ini tidak boleh dinampakkan kepada
laki-laki lain. Mereka hanya boleh melihat muka dan kedua tapak tangan
yang memang ada rukhsah untuk dinampakkan.
Larangan ini dikecualikan untuk 12 orang:
- Suami. Yakni si suami boleh melihat isterinya apapun ia suka. Ini ditegaskan juga oleh hadis Nabi yang mengatakan: “Peliharalah auratmu, kecuali terhadap isterimu.”
- Ayah. Termasuk juga datuk, baik dari pihak ayah ataupun ibu.
- Ayah mertua. Karena mereka ini sudah dianggap sebagai ayah sendiri dalam hubungannya dengan isteri.
- Anak-anak laki-lakinya. Termasuk juga cucu, baik dari anak laki-laki ataupun dari anak perempuan.
- Anak-anaknya suami. Karena ada suatu keharusan untuk bergaul dengan mereka itu, ditambah lagi, bahwa si isteri waktu itu sudah menduduki sebagai ibu bagi anak-anak tersebut.[1]
- Saudara laki-laki, baik sekandung, sebapa atau seibu.
- Keponakan. Karena mereka ini selamanya tidak boleh dikawin.
- Sesama perempuan, baik yang ada kaitannya dengan nasab ataupun orang lain yang seagama. Sebab perempuan kafir tidak boleh melihat perhiasan perempuan muslimah, kecuali perhiasan yang boleh dilihat oleh laki-laki. Demikianlah menurut pendapat yang rajih.
- Hamba sahaya. Sebab mereka ini oleh Islam dianggap sebagai anggota keluarga. Tetapi sebagian ulama ada yang berpendapat: Khusus buat hamba perempuan (amah), bukan hamba laki-laki.
- Keponakan dari saudara perempuan. Karena mereka ini haram dikawin untuk selamanya.
- Bujang/orang-orang yang ikut serumah yang tidak ada rasa bersyahwat. Mereka ini ialah buruh atau orang-orang yang ikut perempuan tersebut yang sudah tidak bersyahwat lagi karena masalah kondisi badan ataupun rasio. Jadi yang terpenting di sini ialah: adanya dua sifat, yaitu mengikut dan tidak bersyahwat.
- Anak-anak kecil yang tidak mungkin bersyahwat ketika melihat aurat perempuan. Mereka ini ialah anak-anak yang masih belum merasa bersyahwat. Kalau kita perhatikan dari kalimat ini, anak-anak yang sudah bergelora syahwatnya, maka orang perempuan tidak boleh menampakkan perhiasannya kepada mereka, sekalipun anak-anak tersebut masih belum baligh.
Dalam ayat ini tidak disebut-sebut
masalah paman, baik dari pihak ayah (‘aam) atau dari pihak ibu (khal),
karena mereka ini sekedudukan dengan ayah, seperti yang diterangkan
dalam hadis Nabi: “Pamannya seseorang adalah seperti ayahnya sendiri.”
(Riwayat Muslim)
[1]
Al Qurthubi berkata: Kecuali bagian-bagian yang tidak boleh
dinampakkan. Tetapi para ulama juga masih berbeda pendapat tentang
tingkatan keluarga itu dan tingkatan bagian yang boleh dan yang tidak
boleh. Misalnya: ada yang boleh dinampakkan, tetapi oleh anaknya suami
tidak boleh.
0 komentar:
Posting Komentar