Selamat Datang di TOKO AZZAM 7

Rabu, April 24

Bilal Bin Rabbah

Bila disebut nama Abu Bakar, maka Umar akan berkata: “Abu Bakar adalah pemimpin kita, yang telah memerdekakan pemimpin kita”. Maksudnya ialah Bilal …. seorang yang diberi gelar oleh Umar “pemimpin kita”, tentulah suatu pribadi besar yang layak memperoleh kehormatan seperti itu! Tetapi setiap menerima pujian yang ditujukan kepada dirinya, maka laki-laki yang berkulit hitam, kurus kerempeng, tinggi jangkung, berambut lebat dan bercambang tipis — sebagai dilukiskan oleh ahli-ahli riwayat — akan menundukkan kepala dan memejamkan mata, serta dengan air mata mengalir membasahipipinya, akan berkata: “Saya ini hanyalah seorang Habsyi, dan kemarin saya seorang budak belian!”
Nah, siapakah kiranya orang Habsyi yang kemarin masih jadi budak belian ini…? Itulah dia Bilal. Bin Rabah, muaddzin Islam dan penggoncang berhala yang dipuja Quraisy sebagai tuhan! la merupakan salah satu keajaiban iman dan kebenaran! Salah satu mujizat Islam yang maka besar!

Dari tiap sepuluh orang, semenjak munculnya Agama itu sampai sekarang, bahkan sampai kapan saja dikehendaki Allah, kita akan menemukan sedikitnya tujuh orang yang kenal terhadap Bilal. Artinya dalam lintasan kurun dan generasi, terdapat jutaan manusia yang mengenal Bilal; hafal akan namanya dan tahu riwayatnya secara lengkap, sebagaimana mereka kenal akan dua Khalifah terbesar dalam Islam (Abu Bakar dan Umar).
Anda akan dapat menanyakan kepada setiap anak yang masih merangkak pada tahun-tahun pelajaran dasarnya; baik di Mesir, Pakistan, Indonesia atau Cina… di Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa dan Asia…di Irak, Syria, Turki, Iran dan Sudan… di Tunisia, Aljazair, dan Maroko…pendeknya di seluruh permukaan bumi yang didiami oleh Kaum Muslimin …. anda akan dapat menanyakan kepada setiap remaja Islam: “Siapakah Bilal itu, wahai buyung?” Tentulah akan keluar jawabannya yang lancar: “Ia adalah muaddzin Rasul. Asalnya seorang budak, yang disiksa oleh tuannya dengan batu panas, agar ia meninggalkan Islam, tetapi jawabnya: “… Ahad…Ahad.. Allah Yang Maha Tunggal…Allah Yang Maha Tunggal…! “
Dan setelah anda lihat keabadian yang telah dianugerahkan Islam kepada Bilal…, bahwa sebelum Islam, Bilal ini tidak lebih dari seorang budak belian; yang menggembalakan unta milik tuannya dengan imbalan dua genggam kurma! Tanpa Islam, pastilah ia takkan luput dari kenistaan perbudakan — sampai maut datang merenggutnya — setelah itu orang melupakannya….

Tetapi kebenaran iman dan keagungan Agama yang diyakini-nya telah meluangkan baginya dalam kehidupan dan riwayat hidup, suatu kedudukan tinggi pada deretan tokoh-tokoh Islam dan orang-orang sucinya…! Banyak di antara orang-orang terkemuka — golongan berpengaruh dan mempunyai harta —yang tidak berhasil mendapatkan agak sepersepuluh dari keharuman nama yang diperoleh Bilal si Budak Habsyi ini… ! ‘Bahkan tidak sedikit tokoh-tokoh sejarah yang tidak mencapai  separoh kemasyhuran yang dicapai oleh Bilal!
 Kehitaman warna kulit; kerendahan kasta dan bangsa, serta kehinaan dirinya di antara manusia selama itu sebagai budak belian, sekali-kali tidaklah menutup pintu baginya untuk menempati kedudukan tinggi yang dirintis oleh kebenaran, keyakinan, kesucian dan kesungguhannya setelah ia memasuki Agama Islam.  Semua itu adalah karena dalam neraca penilaian dan penghormatan yang diberikan kepadanya, tak ada perhitungan lain kecuali kekaguman; yakni ketika dijumpai kebesaran yang tidak terduga.

Orang menyangka bahwa seorang hamba seperti Bilal, biasanya asal-usulnya tidak menentu; tidak berdaya dan tidak mempunyai keluarga, serta tidak memiliki suatu hak pun dari hidupnya. Dirinya adalah milik tuannya yang telah membeli dengan hartanya, dan kerjanya berada di tengah hewan ternak, pulang balik di antara unta dan domba tuannya. Menurut dugaan mereka, makhluq seperti ini takkan mampu melakukan sesuatu, atau menjadi sesuatu yang berarti!

Kiranya ia berbeda dengan spa yang disangka dan diperkirakan itu. Karena ia mampu mencapai derajat keimanan yang tidak mungkin dicapai oleh lainnya …. lalu menjadi muaddzin pertama bagi Rasulullah dan Islam; suatu aural yang menjadi inceran bagi setiap pemimpin dan pembesar Quraisy yang telah masuk Islam dan menjadi pengikut Rasul.
Benar…, Bilal bin Rabah!

Corak kepahlawanan apakah, dan bentuk kebesaran  manakah yang ditonjolkan oleh ketiga kata-kata ini, “Bilal bin Rabah…?” Ia seorang Habsyi dari golongan orang berkulit hitam. Taqdir telah membawa nasibnya  menjadi budak dari Bani Jumah di kota Mekah, karena  ibunya salah seorang hamba sahaya mereka.

Kehidupannya tidak berbeda dengan budak biasa.  Hariharinya berlalu secara rutin tapi gersang, tidak memiliki sesuatu pada hari itu, tidak pula menaruh harapan pada hari esok. Dan berita-berita mengenai Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mulai sampai ke telinganya, yakni ketika orang-orang di Mekah menyampaikan-nya dari mulut ke mulut. Juga ketika mendengar obrolan majikannya bersama tetamunya; terutama majikannya Umayah bin khdaf, salah seorang pemuka Bani Jumah, yaitu kabilah yang menjadi majikan yang dipertuan oleh Bilal.

Lamalah sudah didengarnya Umayah ketika membicarakan Rasulullah, baik dengan kawan-kawannyamaupun sesama warga sukunya; mengeluarkan kata-kata berbisa; penuh dengan rasa amarah, tuduhan dan kebencian. Di antara apa yang dapat ditangkap oleh Bilaldari ucapan kemarahan yang tidak berujung pangkal itu,ialah sifat-sifat yang melukiskan Agama baru baginya. Dan menurut hematnya, sifat-sifat itu merupakan hal-halbaru dipandang dari sudut lingkungan di mana ia tinggal. Sebagaimana juga di antara ucapan-ucapan yang keraspenuh ancaman itu, tapi pula kedengaran olehnyapengakuan mereka akan kemuliaan Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam,
tentang kejujuran dan keterpercayaannya…

Benar, didengarnya mereka ta’jub dan keheranan terhadap ajaran yang dibawa oleh Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam! Sebagian mereka mengatakan kepada yang lain: “Tidak pernah Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berdusta atau menjadi tukang sihir… tidak pula sinting atau berubah akal…, walau kita terpaksa menuduhnya demikian, demi untuk membendung orang-orang yang berlomba-lomba  memasuki Agamanya!”

Didengarnya mereka mempercakapkan kesetiaannya menjaga amanat…, tentang kejujuran dan ketulusannya –.., tentang akhlaq dan kepribadiannya …. Didengarnya pula mereka berbisik-bisik mengenai sebab yang mendorong mereka menentang dan memusuhinya, yaitu: pertama kesetiaan mereka terhadap kepercayaan yang diwariskan nenek moyangnya; dan kedua kekhawatiran merosotnya kemuliaan Quraisy, kemuliaan yang mereka peroleh sebagai imbalan kedudukan mereka menjadi markas keagamaan, sebagai pusat ibadat dan upacara haji di serata jazirah Arab…, kemudian kedengkian terhadap Bani Hasyim, kenapa munculnya Nabi dan Rasul itu dari golongan ini dan bukan dari fihak mereka..

Pada suatu hari, Bilal bin Rabah melihat Nur Ilahi dan mendengarimbauannya dalam lubuk hatinya yang sucimurni. Maka ia mendapatkan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Dan menyatakan keislamannya. Dan tidak lama antaranya, berita rahasia keislaman Bilal terungkaplah …. Dan beredar di antara kepala tuan-tuannya dari Bani Jumah, yakni kepala-kepala yang selama ini ditiup oleh kesombongan dan ditindih oleh kecongkakan… ! Maka setan-setan di muka bumi tampillah bermunculan dan bersarang dalam dada Umayah bin Khalaf, yang menganggap keislaman seorang hambanya sebagai tamparan pahit yang menghina dan menjatuhkan kehormatan mereka semua ….
Apa… ? Budak mereka orang Habsyi itu masuk Islam dan menjadi pengikut Muhammad… ? Walaupun demikian, tidak apa! kata Umayah dalam hatinya. “Matahari yang terbit hari ini takkan tenggelam dengan Islamnya budak durhaka itu…! ” Memang, bukan saja  sang surya itu tidak tenggelam dengan Islamnya Bilal,  tetapi pada suatu hari kelak matahari akan tenggelam dengan membawa semua patung-patung dan pembela pembela berhala itu…!

Mengenai Bilal, tidak saja ia beroleh kedudukan yang merupakan kehormatan bagi Agama Islam semata — walau Islam memang lebih berhak untuk itu — tetapi juga merupakan kehormatan bagi perikemanusiaan umumnya…! la telah menjadi sasaran berbagai macam siksaan sebagai dialami oleh tokoh-tokoh utama lainnya.
Seolah-olah Allah telah menjadikannya sebagai tamsil perbandingan bagi ummat manusia, bahwa hitamnya warna kulit dan perbudakan, sekali-kali tidak menjadi penghalang untuk mencapai kebesaran jiwa, asal saja ia beriman dan taat kepada Tuhannya serta memegang teguh haq-haqnya ….

Bilal telah memberikan pelajaran kepada orang-orang yang semasa dengannya, juga bagi orang-orang di segala masa; bagi orang-orang yang seagama dengannya, bahkan bagi pengikut pengikut agama lain; suatu pelajaran berharga yang menjelaskan bahwa kemerdekaan jiwa dan kebebasan nurani, tak dapat dibeli dengan emas separuh bumi, atau dengan siksaan bagaimanapun dahsyatnya…!
Dalam keadaan telanjang ia dibaringkan di atas bara, dengan tujuan agar ia meninggalkan Agamanya atau mencabut pengakuannya, tetapi ia menolak ….

Maka budak Habsyi yang lemah tidak berdaya ini telah dijadikan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Agama Islam sebagai guru bagi seluruh kemanusiaan dalam soal menghormati hati nurani dan mempertahankan kebebasan serta  kemerdekaannya.
Pada suatu ketika, di tengah hari bulat; waktu padang
 pasir berganti rupa menjadi neraka jahannam, mereka membawanya ke luar, lalu melemparkannya ke pasir yang bagai menyala dalam keadaan telanjang, kemudian beberapa orang laki-laki mengangkat batu besar panas laksana bara, dan menjatuhkannya ke atas tubuh dan dadanya ….

Siksaan kejam dan biadab ini mereka ulangi setiap hari, hingga karena dahsyatnya lunaklah hati beberapa orang di antara algojo-algojo yang menaruh kasihan kepadanya. Mereka berjanji dan bersedia melepaskannya asal saja ia mau menyebut nama tuhan-tuhan mereka secara baik-baik walau dengan sepatah kata sekalipun — tak usah lebih — yang akan menjaga nama baik mereka di mata umum, hingga tidak menjadi buah pembicaraan bagi orang-orang Quraisy bahwa mereka telah mengalah dan bertekuk lutut kepada seorang budak yang gigih dan keras kepala.
Tetapi, walau sepatah kata pun yang dapat diucapkan bukan dari lubuk hatinya, dan yang dapat menebus nyawa dan hidupnya tanpa kehilangan iman dan melepas keyakinannya, Bilal tak hendak mengucapkannya…!

Memang, ditolaknya mengucapkan hal itu, dan sebagai gantinya diulang ulanglah senandungnya yang abadi: “Ahad…! Ahad…! Allah Yang Maha Tunggal… ! Allah Yang Maha Tunggal…!” Pendera-pendera itu pun berteriak, bahkan  seakan-akan hendak memohon kepadanya: “Sebutlah Lata dan ‘Uzza!” Tetapi jawabannya tidak berubah dari: “Ahad…! Ahad…! ” “Sebutlah apa yang kami sebut!”, pinta mereka pula. Tetapi dengan ejekan pahit dan penghinaan yang mena’jubkan ia menjawab: “lidahku tak dapat  mengucapkannya…! “

Tinggallah Bilal dalam deraan panas dan tindihan batu, hingga ketika hari petang mereka tegakkan badannya dan ikatkan tali pada lehernya, lalu mereka suruh anak-anak untuk mengaraknya keliling bukit-bukit dan jalan-jalan kota Mekah, sementara Bilal tiada lekang kedua bibirnya melagukan senandung sucinya: “Ahad…! Ahad…!”

Berat dugaan kita, bahwa bila malam telah tiba, orangorang itu akan menawarkan padanya: “Esok, ucapkanlah kata-kata yang baik terhadap tuhan-tuhan kami,sebutlah:tuhanku Lata dan ‘Uzza…, nanti kami lepaskan dan biarkan kamu sesuka hatimu! Telah letih kami menyiksamu, seolah-olah kami sendirilah yang disiksa!” Tetapi pastilah Bilal akan menggelengkan  kepalanya dan hanya menyebut: 

“Ahad…! Ahad. ! “

Karena tak dapat menahan gusar dan amarah murkanya, Umayah meninju sambil berseru: “Kesialan apa yang menimpa kami disebabkanmu, hai budak celaka?! Demi tuhan Lata dan ‘Uzza, akan kujadikan kau sebagai contoh bagi bangsa budak dan majikan-majikan mereka!” Dengan keyakinan seorang Mu’min dan kebesaran seorang suci, Bilal menyahut: “Ahad…Ahad…”

 Orang-orang yang diserahi tugas berpura-pura menaruh kasihan kepadanya, kembali membujuk dan mengajukan tawaran, katanya kepada Umayah: “Biarkanlah ia wahai Umayah! Demi Lata dan ‘Uzza! Mulai saat ini ia takkan disiksa lagi! Bilal ini anak buah kami, bukankah ibunya sahaya kami…? Nah, ia takkan rela bila dengan keislamannya itu nama kami menjadi ejekan dan cemoohan bangsa Quraisy…!”

Bilal membelalakkan matanya menentang para penipu  dan pengatur muslihat licik itu, tetapi tiba-tiba  ketegangan itu menjadi kendur dengan tersunggingnya sebuah senyuman bagai cahaya fajar dari mulutnya. Dan dengan ketenangan yang dapat menggoncangkan dan mengarubirukan mereka, katanya: “Ahad…! Ahad     . ! “
Waktu pagi hampir berlalu, waktu dhuhur dekat  menjelang, dan Bilal pun dibawa orang ke padang pasir, tetapi tetap shabar dan tabah, tenang tak tergoyah. Sementara mereka menyiksanya, tiba-tiba datanglah Abu Bakar Shiddiq, serunya: “Apakah kalian akan membunuh seorang laki-laki karena mengatakan bahwa Tuhanku ialah Allah?!” Kemudian katanya kepada Umayah binKhalaf: “Terimalah ini untuk tebusannya, lebih tinggi dari harganya, dan bebaskan ia…! “
Bagai orang yang hampir tenggelam, tiba-tiba diselamatkan oleh sampan penolong, demikianlah halnya Umayah saat itu; hatinya lega dan merasa amat beruntung demi didengarnya Abu Bakar hendak menebus budaknya. la telah berputus asa akan dapat menundukkan Bilal. Apalagi mereka adalah orang orsaudagar, dengan dijualnya Bilal mereka melihat keuntungan yang tidak akan diperoleh dengan jalan membunuhnya.

Dijualnyalah Bilal kepada Abu Bakar yang segera membebaskannya, dan dengan demikian Bilal pun tampillah mengambil tempatnya dalam lingkunganorang-orang merdeka…. Dan ketika as-Shiddiqmengepit Bilal membawanya ke alam bebas, berkatalah Umayah: “Bawalah ia! Demi Lata dan ‘Uzza, seandainharga tebusannya tak lebih dari satu ugia, pastilah ia akan kulepas juga!”

Abu Bakar ‘arif akan keputusasaan dan pahitnya  kegagalan yang tersirat dalam ucapan itu, hingga lebih  baik tidak dilayaninya.
Tetapi karena ini menyangkut kehormatan seorang laki-laki yang sekarang telah menjadi saudara yang tberbeda dengan dirinya, maka jawabnya kepada U mayah: “Demi Allah, andainya kalian tak hendak menjualnya kecuali seratus ugia, pastilah akan kubayar juga!”
Kemudian pergilah Abu Bakar bersama shahabatnya itu kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan menyampaikan berita gembira tentang kebebasannya, maka saat itu pun tubah bagai hari rays besar juga…!

Dan setelah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersama Kaum Muslimin hijrah dan menetap di Madinah, beliaumensyari’atkan adzan untuk melakukan shalat. Maka siapakah kiranya yang akan menjadi muaddzin untshalat itu sebanyak lima kali dalam sehari semalam… yang suara takbir dan tahlilnya akan berkumandang ke seluruh pelosok…? Ialah Bilal…, yang telah menyerukan: “Ahad… ! Ahad… ! Allah Maha Tunggal… ! Allah Maha Tunggal…!” semenjak 13 tahun yang lalu, sementara siksaan membantai dan menyelai tubuhnya.

Pada hari itu pilihan Rasulullah jatuh atas dirinyasebagai muaddzin pertama dalam Islam. Dan dengansuaranya yang merdu dan empuk diisinya hati dengan keimanan dan telinga dengan keharuan, sementara seruannya menggemakan:
 “Allahu Akbar… Allahu Akbar Allahu Akbar …Allahu Akbar
Asyhadu allailaha illallah
Asyhadu allailaha illallah
Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah Asyhadu
anna Muhammadar Rasulullah Hayya ‘alas shalah
Hayya ‘alas shalah
Hayya ‘alal falah
Hayya alai falah
Allahu Akbar… Allahu Akbar La ilaha illallah… “.
Antara Kaum Muslimin dan tentara Quraisy yang  datang menyerang Madinah terjadi peperangan…. Pertempuran berkecamuk dengan amat sengit dadahsyat…, sementara Bilal maju dan menerjang dalamperang pertama yang diterjuni Islam itu, yaitu Bakar…, yang sebagai semboyannya dititahkan oleh Rasulullahmenggunakan ucapan: “Ahad…! Ahad…! “

Dalam peperangan ini Quraisy mengerahkan tenaga intinya,  dan pemuka pemukanya terjun untuk akhirnyamenemui tempat pembantaian mereka…! Pada mulanya Umayah bin Khalaf, yaitu  bekas majikan Bilal yang telah menyiksanya secara kejam dan biadab, tak hendak ikut d alam peperangan itu. Tetapi demi mendengar keengganan dan sifat pengecutnya itu, maksalah seorang di antara kawannya yang bernama ‘Uqbah bin Abi With mendatanginya sambil di tangan kanannyamembawa sebuah mijmar — pedupaan yangdipergunakan wanita untuk mengasapi tubuhnya dengan kayu wangi —.
Setelah sampai dan ia berhadapan muka denganUmayah Yang ketika itu sedang duduk di tengah-tengaanak buahnya, ditaruhlah pedupaan itu di hadapannya seraya berkata: “Hai Abu Ali! Terimalah danpergunakanlah pedupaan ini. Karena kamu tak lebih darseorang wanita!”

 “Keparat! apa yang kau bawa ini?, teriak Umayah  dengan seramnya. Tetapi tak dapat mengelak terpaksa  akhirnya ia turut dalam peperangan itu bersama kawakawannya ….
Amboi, rahasia taqdir apakah kiranya yang tersembunyi di balik peristiwa ini…? Uqbah bin Mu’ith adalah seorang yang paling gigih mendorong Umayah untuk melakukan siksaan terhadap Bilal dan orang-ortak berdaya lainnya dari Kaum Muslimin  Dan sekaraia pulalah yang mendesaknya supaya ikut dalam Perang Badar, tempat ia akan menemui ajalnya…! Tetapi juga tempat tewasnya‘Uqbah itu sendiri tanpa kecuali…

Mulanya Umayah keberatan dan enggan untuk ikut dalam peperangan…, dan kalau bukanlah karena desakan Uqbah dengan cara sebagai kita ketahui itu, tidaklah ia hendak mengambil bagian di dalamnya…
Tetapi rencana Allah pasti berlaku!
Umayah harus ikut. Ada piutang lama antara diri dengan salah seorang hamba Allah yang datang saatnya untuk diselesaikan. Allah tak pernah mati, dan sebagaimana kalian memperlakukan orang demikianpula kalian diperlakukan orang!

Dan taqdir ini gemar sekali mempermainkan orangsombong dan aniaya! Uqbah yang kata-katanya didengaroleh Umayah dan kemauannya untuk menyiksa orangorang Mu’min yang tak berdosa diturutnya, justeru yang menyeretnya ke liang kubur…!
Kemudian di tangan siapakah Di tangan Bilal…, tidak lain di tangan Bilal sendiri! Tangan yang oleh Umayah dulu diikat dengan rantai, sedang pemiliknya didera disiksa.

Maka tangan inilah pula pada hari itu — ya’ni di waktu perang Badar — suatu saat yang tepat dan diatur oleh  taqdir, yang telah menyelesaikan utang piutang dan membuat perhitungan dengan algojo-algojo Quraisy yang telah menimpakan penghinaan dan kedhaliman terhadap orang-orang Mu’min…! Peristiwa ini terjadi secasempurna, tanpa ditambah atau dibumbui…!

Ketika pertempuran di antara dua pihak telah mulai, dan barisan Kaum Muslimin maju bergerak dengan semboyannya: “Ahad…! Ahad…!’,’maka jantungUmayah pun bagai tercabut dari urat akarnya dan rasa takut mengancam dirinya… Kalimat yang kemardiulang-ulang oleh hambanya di bawah tekanan siksadan dera, sekarang telah menjadi semboyan dari suatu Agam a secara utuh, dan dari suatu ummat yang baru secara keseluruhan… ! “Ah ad ! Ahad…!” Demikianldan dengan kecepatan seperti ini…, serta pertumbuhan yang demikian besar…?

Pertempuran telah berkecamuk dan pedang bertemu pedang
Ketika perang telah hampir usai, kelihatanlah oleh Umayah, abdurrahman bin ‘Auf, seorang shahabat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Maka segera ia melindungkan diri kepadanya, dan meminta untuk menjadi tawanannya;dengan harapan akan dapat menyelamatkan nyawanya  ….

Permintaan itu dikabulkan oleh Abdurrahman yang bersedia melindunginya,dan di tengah-tengah hirukpikuknya perang dibawan yalah Umayah ke tempat orang-orang tawanan. Di tengah jalan ia kelihatan olehBilal,
yang segera berseru: “Ini  dia… gembong kekafiran, Umayah bin Khalaf! Biar aku mati daripada orang ini selamat…! “

Sambil menyatakan itu diangkatlah pedangnya hendak
 memenggal kepala yang selama ini menjadi besar  disebabkan kecongkakan dan kesombongan. “Hai Bilal, ia tawananku! ” seru Abdurrahman. “Tawanan –.. ? ujar bilal, ‘padahal pertempuran masih berkobar dan roda  peperangan masih berputar… ? ” la diterima sebagai tawanan…, padahal belum lama berselang senjatanya terhunjam di tubuh Kaum Muslimin yang sampai sekarang masih meneteskan darahnya…? Tidak…! bagi Bilal itu artinya berolok-olok dan penindasan. Dan cukuplah selama ini Umayah berolok-olok dan melakukan penindasan. la telah menindas demikian rupa, hingga hari ini tak ada lagi kesempatan tersisa, dalam keadaan segawat ini… dalam akibat yang menentukan ini!
orang kafir, Umayah bin Khalaf…! Biar aku mati daripada dia lolos…! “

Berdatanganlah serombongan Kaum Muslimin dengan pedang penyebar maut di tangan mereka dan mengepung Umayah bersama puteranya — yang berperang di pihak Quraisy — sementara Abdurrahman bin Auf tak dapat berbuatapa pun, bahkan juga tidak dapat melindungibajunya  yang telah terkoyak koyak oleh desakan orang  banyak.

Bilal memandangi tubuh Umayah yang telah rubuh oleh tebasan pedang-pedang itu dengan lama sekali, kemudian ia bergegas meninggalkan tempat itu, sementara suaranya yang nyaring mengumandangkan: “Ahad…! Ahad

Menurut hemat saya, bukanlah haq kita untuk membahas keutamaan toleransi dari pihak Bilal dalam suasana seperti itu …. Tetapi seandainya pe antara Bilal dengan Umayah terjadi pada suasana lain,  maka bolehlah kita meminta kepadanya agar memma’af, yang tak mungkin ditolak oleh orang yang seperti
Bilal keimanan dan ketaqwaannya.

Hanya sebagai kita ketahui, mereka bertemu di medan laga, masing-masing pihak mendatanginya dengan tujuan untuk menghancurkan pihak. lawannya….Pedang dan tombak herkelebatan…para korban b erguguran – – –, dan maut merajalela berseliweran…! Tiba-tiba pada saat seperti itu Bilal melihat Umayah, yang tak sejengkal pun dari tubuhnya luput dari bekas kekejaman dan adzab siksa Umayah!

Lalu di manakah dan betapa tampak olehnya…? Dilihatnya dalam kancah pertempuran; memenggal kepala Kaum Muslimin yang ditemui Umayah, dan seandainya ia beroleh kesempatan untuk memenggalkepala Bilal pada saat itu, tentulah tidak akan disiasiakannya! Nah, dalam keadaan seperti demikiankedualakilaki itu berhadapan  muka! Maka tidaklah admenurutlogika,bilakita bertanya  kepada Bilal, kenapa ia tak hendak memberi ma’af dengan sebaik-baiknya…!

Hari-hari berlalu… dan Mekah dibebaskan…. Dengan mengepalai sepuluh ribu Kaum Muslimin, Rasulullah memasuki kota itu,bersyukurmengucapkan takbir. Beliau langsung menuju Ka’bahyan g telahdipadati berhala oleh Quraisy dengan jumlabilangan hari dalam setahun,  ialahtidak  kurang dari 3buah berhala. Yang benar telah datang, hancur luluhlah
kebathilan ….

Mulai hari itu tak ada lagi Lata.  ‘Uzza atau Hubal., dan semenjak itu manusia tidak lagi menundukkan  kepalanya kepada batu atau berhala –.., dan ta kada lagi  yang mereka puja sepenuh hati kecuali Allah yang tak ada tara atau bandingan-Nya; Tuhan yang Maha Tunggal lagiEsa, Maha Tinggi dan Maha Besar ….
Rasulullah memasuki Ka’bah dengan  membawa Bilal  sebagai teman…! Baru saja masuk, beliau telah berhadapan dengan sebuah patung pahatan, menggambarkan Ibrahim ‘alaihissalam sedang berjudidengan menggunakan anakpanah. Rasulullah amat murk a, sabdanya:
Semoga mereka dihancurkan Allah! Tak pernah nenek moyang kita melakukan perjudian demikian….Dan Ibrahim itu bukanlah seorang yahudi,bukan pula seorang nasrani, tetapi seorang yang beragama suci dan seoran g Muslim, dan sekali-kali bukan dari  golongan musyrik “.

Rasulullah menyuruh Bilal naik ke bagian atas masjid untuk mengumandangkan adzan. Maka Bilal pun adzanlah.. ‘ dan amboi…, alangkahmengharukan saatitu, temp at itu dan suasana kala itu…! Gerakan

kehidupan di Mekah terhenti, dan dengan jiwa yang satu, ribuan Kaum Muslimin dengan hati khusyu’ dan secaraberbisik mengulangi kalimat demi kalimat yangdiucapkan Bilal.
 Orang-orang musyrik di rumahnya masing-masing hampir tak percaya dan bertanya-tanya dalam hatinya:

—   Inikah dia Muhammad dengan orang-orang miskinnya yang
kemarin terusir meninggalkan kampung halamannya…?
   Betulkah dia, yang mereka usir, mereka perangi,  dan mereka bunuh keluarga yang paling dicintainya serta  kerabat yang paling dekat kepadanya…?

—   Dan betulkah dia, yang beberapa saat yang lalu,  nyawa mereka berada di tangannya, memaklumkan kepada mereka: “Pergilah kalian…, kalian semua bebas…!”

Tiga orang bangsawan Quraisy sedang duduk-duduk di pekarangan Ka’bah. Mereka tampak terpukul menyaksikan panorama itu, yaitu ketika Bilal menginjak-injak berhala-berhala mereka dengan kedua telapakkakinya, kemudian di  atas reruntuhannya yang telah hancur
luluh, menyenandungkan suara adzannya yang berkumandang di seluruh pelosok Mekah yang tak ubahnya  bagai tiupan angin di musim bunga ….

Ketiga orang itu ialah: Abu Sufyan bin Harb — yang telah masuk Islam beberapa saat yang lalu — dan ‘Atta bin Useid serta Harits bin Hisyam — kedua mereka belum lagi masuk Islam —. Sementara matanya tertuju kepada Bilal yang sedang menyuarakan adzan, ‘Attab berkata: “Sungguh Useid dimuliakan Allah, ia tidak mendengar sesuatu yang amat dibencinya!” Berkata pula Harits: “Demi Allah,seandainya saya tahu bahwa Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam itu di pihak yang benar, pastilah saya paling dahulu akan mengikutinya…! Sedang Abu Sufyan yang diplomat itu menukas pembicaraan kedua shahabatnya dengan katanya: “Saya tak hendak mengatakan sesuatu, karena seandainya saya berkatapastilah akan disebarkan oleh kerikil kerikil ini!”

Ketika Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggalkan Ka’bah tampaklah mereka olehnya, lalu dalam sekejap waktu dibacanya wajah-wajah mereka. Kemudian dengan kedua matanya yang bersinar dengan Nur Hahi, sabdanya kepada mereka: “Saya tahu apa yang telah kalian katakan tadi..  …. Lalu diceriterakannyalah apa yang mereka katakan  itu. Maka Harits dan ‘Attab pun berseru: “Kami menyaksikan bahwa anda adalah Rasulullah. Demi Allah tak seorang pun mendengarkan pembicaraan kami, hingga kami dapat menuduh bahwa ia telah menyampaikannya kepada anda…!” Sekarang mereka menghadapi Bilal dengan pandangan baru.
Dalam lubuk hati mereka bergema kembali kalimat- kalimat yang mereka dengar dalam pidato Rasulullah sewaktu mula-mula masuk Mekah.

Hai golongan Quraisy..  Allah telah melenyapkan daripada kalian kesombongan jahiliyah dan kebanggaan dengan nenek moyang…, Manusia itu dari Adam …. sedang Adam dari tanah…!
Bilal melanjutkan hidupnya kini bersama RasulullahShalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan ikut mengambil bagian dalam semua perjuangan bersenjata yang dialaminya. la tetap memuaddzin, menjaga serta menyemarakkan syi’ar Agama besar ini, yang telah membebaskan darkegelapan kepada cahaya, dari perbudakan kepkemerdekaan…!
Kedudukan Agama Islam semakin tinggi, demikian pula halnya Kaum Muslimin, taraf dan derajat mereka ikut naik; dan Bilal semakin lama semakin dekat di hati Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menyatakannya sebagai “seorang laki-laki penduduk surga”.
Tetapi sikapnya tidak berubah, tetap seperti biasa; mulia dan besar hati, yang selalu memandang dirinyatidak lebih dari “seorang Habsyi yang kemarin menjadi budak belian”.
Pada suatu hari ia pergi meminang dua orang wanita  untuk diperisterikannya dan diperisterikan saudaranya,  maka katanya kepada bapa wanita itu: “Saya ini Bilal, dan ini saudaraku, kami berasal dari budak bangsa Habsyi…. Pada mulanya kami berada dalam kesesatan kemudian diberi petunjuk oleh Allah, dahulu kami budak-budak belian lalu dimerdekakan oleh Allah.… Jika pinangan kami anda terima alhamdulillah— segala puji bagi Allah, dan seandainya anda tolak, maka Allahu Akbar, Allah Maha Besar…!

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pergi meninggalkan alam fana dan naik ke rafiqul a’la dalam keadaan ridla dan diridlai, dan penanggung jawab Kaum Muslimin sepeninggal beliau dibebankan di atas pundak khalifahnya Abu Bakar as-Shiddiq. Bilal pergi mendapatkan khalifah Rasulullah, menyampaikan isi hatinya.  Wahai Khalifah Rasulullah, saya mendengar Rasulullah bersabda:  Aural orang Mu’min yang utama adalah berjihad fi sabilillah.

“Jadi apa maksudmu, hai Bilal?” tanya Abu Bakar. “Saya ingin berjuang di jalan Allah sampai saya meninggal dunia”, ujar Bilal. “Siapa lagi yang akan menjadi muaddzin bagi kami?”, tanya Abu Bakar pula. Dengan air mata berlinang Bilal menjawab: “Saya takkan menjadi muaddzin lagi bagi orang lain setelah Rasulullah”. “Tidak” kata Abu Bakar, “tetaplah tinggal di sini hai Bilal, dan menjadi muaddzin kami!” Jawab Bilal pula: “seandainya anda memerdekakan saya dulu adalah untuk kepentingan anda, baiklah saya terima permintaan nda itu. Tetapi bila anda memerdekakan saya karena Allah, biarkanlah diri saya untuk Allah sesuai dengan  maksud baik anda itu!” “Tak lain saya memerdekakanmu  itu, hai Bilal, semata-mata karena Allah!”

Kemudian mengenai kelanjutannya terjadi perbedaan  pendapat di antara para  ahli riwayat. Sebagian meriwayatkan bahwa ia pergi ke Syria dan menetap di sana sebagai pejuang dan mujahid. Sementara menurut lainnya, ia menerima permintaan Abu Bakar untuk tinggal bersamanya di Madinah. Kemudian setelah Abu Bakar wafat dan Umar diangkat sebagai khalifah, barulah Bilal minta idzin dan mohon diri kepadanya, lalu berangkat ke Syria.

Bagaimanapun juga, Bilal telah menadzarkan sisa hidup dan usianya untuk berjuang menjaga bentengbenteng Islam di perbatasan, dan membulatkan tekadnya untuk dapat menjumpai Allah dan Rasul-Nya, sewaktu ia sedang melakukan aural yang paling disukai oleh keduanya…. Dan suaranya yang syandu, dalam danpenuh
Wibawa itu, tidak lagi mengumandangkan adzan seperti biasa. Sebabnya ialah karena demi ia membaca “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah “, maka kenangan lamanya bangkit kembali, dan  suaranya tertelan oleh kesedihan, digantikan oleh cucuran tangis dan air mata ….

Adzannya yang terakhir, ialah ketika Umar sebagai Amirul Mu’minin datang ke Syria. Orang-orang menggunakan kesempatan tersebut dengan memohon kepada khalifah untuk meminta Bilal menjadi muaddzin bagi satu shalat saja. Amirul Mu’minin memanggil Bilal; ketika waktu shalat telah tiba, maka dimintanya ia menjadi muaddzin.   naik ke menara dan adzanlah…. Shahabat shahabat yang pernah mendapati Rasulullah di waktu shalat telah tiba, maka dimintanya ia menjadi muaddzin.

Bilal pun  naik ke menara dan adzanlah…. Shahabat shahabat yang pernah mendapati Rasulullah di waktu Bilal menjadi muaddzinnya sama-sama menangis mencucurkan air mata, yang tak pernah mereka lakukan  selama ini …. sedang yang paling keras tangisnyaantara mereka ialah Umar…

Bilal berpulang ke rahmatullah di Syria sebagai pejuang di jalan Allah seperti diinginkannya. Dan di bawah bumi Damsyiq, sekarang terpendam kerangka dan tulang-belulang suatu pribadi yang besar di antara pribadi-pribadi manusia, yang amat teguh dan tanggpendiriannya dalam mempertahankan ‘aqidah dan keimanan….

Semoga Rahmat dan Karunia Allah melimpah rush kepada Bilal dan kepada kita semua.


0 komentar:

Posting Komentar

 
Terimakasih telah berkunjung