Selamat Datang di TOKO AZZAM 7

Minggu, April 21

Antara Khalifah dan Panglima

Siapa yang tidak kenal dengan Khalid bin Walid? Ia adalah salah seorang sahabat yang sangat terkenal akan keberanian dan kekuatannya. Tidak hanya itu, ia pun sangat mahir dalam menyusun strategi peperangan. Maka sangatlah wajar jika Khalid bin Walid diangkat menjadi panglima perang sekaligus jenderal dari pasukan kaum muslimin.
Pada suatu waktu, Khalid bin Walid sedang memimpin peperangan dan berada di garis depan. Tiba-tiba datang seorang prajurit menyerahkan secarik surat yang dikirimkan oleh khalifah Umar bin Khaththab. Isinya sangat singkat, sekaligus mengagetkan.
“Dengan ini dinyatakan bahwa jenderal Khalid bin Walid, dipecat! Harap menghadap dengan segera!“.

Setelah membaca surat itu, Khalid bin Walid menjadi gelisah. Ia bingung karena merasa tak berbuat kesalahan. Namun, sebagai orang yang taat pada khalifah, ia segera mundur dari peperangan dan menyerahkan jabatan panglima perang kepada wakilnya.
Singkat cerita, Khalid bin Walid menghadap khalifah Umar bin Khaththab. Ia bertanya perihal isi surat yang diterimanya, hanya sekedar memastikan.
“Wahai, Amirul Mukminin. Apakah benar saya dipecat?”, tanya Khalid.
“Ya! Anda saya pecat!”, jawab Umar tegas.
“Baiklah, ya Amirul Mukminin. Saya dengar dan saya taat pada anda. Tapi bolehkah saya tahu alasannya? Apa kesalahan saya sehingga harus dipecat?”, tanya Khalid lagi penasaran.
“Anda sama sekali tidak berbuat kesalahan, sedikit pun!”, jawab Umar.
“Atau mungkin saya kurang ahli dalam hal peperangan?”, tanya Khalid lagi.
“Tidak! Saat ini, anda adalah panglima perang terbaik yang pernah kami miliki!”, jawab Umar diplomatis.
Khalid bin Walid terdiam. Ia tampak bingung dan linglung. Melihat ini, Umar bin Khaththab tersenyum.
“Dengarlah, wahai Khalid!”, ujar Umar.
“Anda adalah seorang jenderal terbaik dan panglima perang terhebat. Banyak sekali pujian yang ditujukan pada anda, entah itu dari pasukan anda sendiri maupun dari kaum muslimin”, lanjut Umar.
“Ingatlah, hai Khalid! Anda itu manusia biasa. Terlalu banyak pujian bisa menimbulkan rasa sombong dalam diri anda. Bukankah Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong?”, sambung Umar bertanya.
Khalid bin Walid tak menjawab. Ia diam seribu bahasa.
“Karena itu maafkan saya, wahai saudaraku! Agar anda tidak terjerumus ke dalam neraka, maka anda saya pecat!”, ujar Umar lagi.
Lagi-lagi Khalid bin Walid terdiam.
“Supaya anda tahu. Jangankan di hadapan Allah yang menguasai semesta, di hadapan Umar saja anda tidak bisa apa-apa”, jelas Umar dengan bijak.
Seketika itu juga Khalid bin Walid berdiri dan langsung memeluk khalifah Umar bin Khaththab. Ia menangis tersedu.
“Terima kasih, ya Umar! Engkau memang benar-benar saudaraku!”, ujar Khalid di sela-sela tangisannya.
Setelah pemecatan itu, Khalid bin Walid kembali ke medan perang. Bukan sebagai panglima, tetapi sebagai prajurit biasa. Ia menunjukkan bahwa ia berperang bukan karena jabatan, pangkat, atau kedudukan. Ia berperang semata-mata karena Allah, mencari keridhoan Allah.

Beginilah seharusnya Pemimpin benar-benar mampu "mencegah" rakyatnya untuk bermaksiat kepada Allah. Beginilah seharusnya yang dipimpin selama yang diinstruksikan adalah karena Allah dan taat kepada Rasul-Nya maka hanya satu kalimat kami dengar dan kami taat. Bagaimana dengan saat ini? Saat orientasi pemimpin berubah maka jangan pernah berharap mampu mendapatkan simpatik dan dukungan rakyatnya. demikianpula sebaliknya saat rakyat tak mampu memilih pemimpin yang layak maka jangan pernah berharap mendapatkan rahmat Allah. 

0 komentar:

Posting Komentar

 
Terimakasih telah berkunjung