Di balik ketergantungan kepada sumber
energi dari perempuan itu, ada satu fenomena yang patut dipelajari
dengan seksama; syahwat besar yang dirasakan para pahlawan kepada
perempuan.
Utsman bin Affan, khalifah ketiga dan
menantu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahkan pernah berkata
tentang dirinya sendiri, “Saya adalah lelaki yang sangat suka kepada
perempuan.” Agaknya penjelasan ini mewakili fenomena yang mencolok dalam
kehidupan para sahabat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam; baik
pada jumlah istri yang banyak maupun pada frekuensi hubungan seksual.
Apakah ada hubungan antara kebutuhan
biologis yang besar dan kebutuhan psikologis sama besarnya terhadap
perempuan? Ada pada sebagiannya dan tidak ada pada sebagiannya. Yang
terakhir ini karena kita juga menemukan contoh pada beberapa ulama,
seperti Imam Nawawi, Ibnu Taimiyah, dan Sayyid Quthb, yang tetap
membujang hingga wafat. Bahkan, Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah,
rahimahullah, menulis sebuah buku tentang Al Ulama Al Uzzab (Ulama-ulama Bujang).
Di samping dapat dijelaskan oleh
kesibukan mereka, atau kekhawatiran tidak dapat memenuhi hak-hak istri,
agaknya penjelasan Syekh Ibnu Utsaimin, rahimahullah, lebih realistis.
“Mereka mempunyai ambisi besar kepada ilmu pengetahuan, tetapi juga
memiliki syahwat yang kecil. Sebab kalau syahwat mereka besar, tentulah
kesibukan tidak akan menghalangi mereka menikah,” jelasnya.
Lepas dari itu, syahwat besar kepada
perempuan memang banyak ditemukan di kalangan para pahlawan di medan
perang dan politik. Syahwat besar itu berguna mengimbangi kekuatan lain
yang sangat dahsyat dalam diri mereka; kekuatan amarah (al quwwah al ghadhabiyyah).
Kekuatan terakhir inilah yang memberikan energi dan gairah untuk
menghadapi risiko, meremehkan musuh, mengalahkan ketakutan kepada
kematian, dan menikmati ketegangan jangka panjang.
Inilah agaknya yang menjelaskan mengapa
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam selalu membawa serta salah satu
istrinya ke dalam berbagai medan tempur. Ini juga yang menjelaskan
mengapa Umar membuat aturan yang mengharuskan setiap mujahid kembali
menemui istrinya setelah masa tempur empat bulan. Lebih dari empat
bulan, kata seorang analis militer, seorang prajurit akan berubah
menjadi sadistis, atau bahkan kanibalis.
Syahwat itu, kala Al Maududi dalam Al
Hijab, juga merupakan sumber vitalitas yang memberikan kita gairah untuk
bekerja dan berkarya. Itu sebabnya Islam mengatur penyalurannya yang
tepat agar ia memberikan efek produktivitas bagi kehidupan manusia.
Jadi, ketika para orientalis menuduh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai penderita sex maniac, seorang penulis siroh (sejarah)
menjawab, “Syahwat yang besar kepada perempuan itu justru merupakan
tanda-tanda kesempurnaan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.”
0 komentar:
Posting Komentar