“Pernikahan itu sangat sensitif,” kata Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anh, “dan tergantung kepada pribadi masing-masing untuk mendapatkan kemuliaannya.”
Pernikahan itu sangat sensitif. Pada
saat itu seseorang menjadi peka, lebih peka dari sebelumnya. Boleh jadi
ia menjadi lebih peka terhadap kebajikan-kebajikan dan akhlak mulia.
Boleh jadi ia justru menjadi peka terhadap kekurangan-kekurangan orang
lain sekalipun sedikit, sedangkan kebaikannya yang banyak tidak nampak
di mata.
Pernikahan itu sangat sensitif. Kalau
sebuah pernikahan mengalami keretakan dan kegersangan, yang merasakan
panas serta gerahnya tidak hanya suami dan istri. Sanak-kerabat pun bisa
ikut merasakan. Pernikahan itu sangat sensitif. Kalau masing-masing
pribadi berusaha untuk saling menyelami dan menguatkan jalinan perasaan (al-athifah) untuk
kebaikan bersama, guncangan-guncangan besar pun insya-Allah tidak
menggoyahkan. Apalagi guncangan kecil, baik dari tetangga maupun
keluarga.
Pernikahan itu sangat sensitif. Kalau
masing-masing berusaha untuk mendapatkan kemuliaan –bukan dimuliakan–
insya-Allah mereka akan meraih rumahtangga yang barakah, sakinah (menenteramkan jiwa) mawaddah wa rahmah (diliputi oleh rasa cinta dan kasih-sayang).
Pernikahan itu sangat sensitif. Segala
jalan yang menyebabkan munculnya keraguan dan kebimbangan mengenai
akhlak maupun fisiknya, perlu dijauhkan. Setiap pintu yang bisa
membukakan penyesalan perlu ditutup, sedangkan pintu yang mendatangkan
kemantapan dan terhapusnya jalan penyesalan sebaiknya dibuka lebar.
Sederhana dalam proses dan sederhana dalam pelaksanaan merupakan jalan besar menuju keluarga yang barakah, sakinah, mawaddah wa rahmah. Sementara itu, mempersulit proses pernikahan dapat membuka pintu-pintu madharat. Mempersulit proses pernikahan melapangkan jalan fitnah dan mafsadat (kerusakan) masyarakat. Tetapi yang ingin saya bahas di sini adalah madharat bagi suami-istri yang akan menikah.
Rasulullah bersabda,“Seorang wanita
yang penuh barakah dan mendapat anugerah Allah adalah yang maharnya
murah, mudah menikahinya, dan akhlaknya baik. Namun sebaliknya, wanita
yang celaka adalah yang mahal maharnya, sulit menikahinya, dan buruk
akhlaknya.”
Ada beberapa madharat yang bisa muncul akibat proses pernikahan yang dipersulit:
Pertama, Menyebabkan Pembandingan
Sulitnya menempuh proses pernikahan,
dapat menyebabkan orang melakukan pembandingan. Ia membandingkan proses
yang ia jalani. Bisa juga membandingkan orang yang dikehendaki.
Adakalanya, orang membandingkan dengan
proses yang ditempuh oleh orang lain. Pembandingan menyebabkan munculnya
penilaian. Sebagian dari penilaian masih berada dalam kebenaran, akan
tetapi sebagian lagi dapat menjatuhkan kepada prasangka dan dosa. Ia
menilai iktikad calon teman hidupnya maupun keluarganya.
Adakalanya, orang membandingkan calon istrinya dengan orang lain.
Pembandingnya bisa jadi memang
benar-benar ada, bisa jadi imajinatif. Ia tidak membandingkan calon
istrinya dengan seseorang, tetapi membandingkan dengan apa yang
diangan-angankannya di waktu dulu. Sumber pembandingan bisa jadi cerita
orang, bisa juga buku-buku tentang nikah.
Mungkin ia membandingkan calonnya dalam
aspek psikis. Misalnya, keramahan dan kelembutannya. Mungkin juga ia
membandingkan aspek fisik si calon dengan orang lain, sehingga ia
menjadi kurang lega dan mantap dibanding sebelumnya. Padahal, ketika
sudah menikah saja seorang istri perlu menjauhkan suami dari
membanding-bandingkan kecantikan istri dengan orang lain. Sebab ini
dapat membuka jalan ketidakpuasan dan penyimpangan.
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anh mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, Seorang
wanita tidak boleh bergaul dengan wanita lain, kemudian ia ceritakan
kepada suaminya keadaan wanita itu, sehingga suaminya seolah-olah
melihat wanita tersebut.” (HR Bukhari & Muslim).
Kedua, Menimbulkan Keraguan
Ketika Mughirah bin Syu’bah Radhiyallahu
‘Anh akan meminang seorang wanita, begitu An Nasa’i menceritakan dalam
hadisnya, Rasulullah bertanya, “Sudahkah kamu melihat wanita itu?”
Kemudian Mughirah menjawab, “Belum.”
Rasulullah kemudian berkata, “Lihatlah
wanita itu, karena akan mengurangi penyesalan antara kedua belah pihak.
Yakni memberi kemungkinan tumbuhnya keserasian, keselarasan, dan
kebersamaan antara keduanya.”
Al-Amasy berkata, “Setiap perkawinan yang dilangsungkan tanpa saling melihat akan menyebabkan kesusahan dan kesedihan.”
Melihat wanita yang akan dinikahi dapat
menumbuhkan kemantapan. Ia lebih yakin kepada satu pilihan.
Mudah-mudahan mereka akan memperoleh keserasian dan keselarasan setelah
menikah.
Ketika proses pernikahan dipersulit,
orang dapat membanding-bandingkan. Ini membuka jalan ketidakpuasan dan
ketidakrelaan. Proses pernikahan yang dipersulit juga dapat
mengakibatkan orang menjadi tidak mantap melangkah, sekurang-kurangnya
menjadi ragu. Padahal kemantapan terhadap pilihan sangat diperlukan agar
tercapai keselarasan, keserasian dan kebersamaan antara keduanya. Demi
mencapai kemantapan agar tidak mengangankan yang lain, orang boleh
melihat calonnya.
Mari kita lihat kembali kisah Mughirah bin Syu’bah Radhiyallahu ‘Anh melalui jalur lain:
Ketika Mughirah bin Syu’bah
berkeinginan untuk menikahi seorang wanita, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda kepadanya, “Pergilah untuk melihat wanita itu, karena
dengan melihat itu akan memberikan jaminan bagi kelangsungan hubunganmu
berdua.” Dia melaksanakannya, lalu menikahinya. Di kemudian hari ia
menceritakan tentang kerukunan dirinya dengan wanita tersebut. (HR Ibnu Majah, An Nasa’i dan At Tirmidzi).
Kalau orang merasakan keraguan, barakah pernikahan bisa berkurang.
Na’udzubillahi min dzalik.
Ketiga, Melemahkan Kesediaan untuk Berjuang Bersama
Proses pernikahan yang dipersulit bisa
melemahkan kesediaan untuk berjuang bersama-sama. Kalau semula keluarga
dibayangkan sebagi perahu yang perlu dikayuh bersama-sama, sulitnya
proses pernikahan dapat menyebabkan pikiran berubah. Ia telah membayar
proses pernikahan dengan kesulitan. Setelah akad nikah tercapai, tibalah
saatnya untuk menjadi penumpang saja di perahu itu. Tidak mengayuhnya
bersama-sama.
Keluarga yang demikian ini akan timpang.
Apalagi kalau masing-masing merasa paling banyak berjuang dalam
mengibarkan layar pernikahan.
Keempat, Mengeraskan Hati
Proses pernikahan yang sulit dapat
mengeraskan hati dan meninggikan tuntutan psikis terhadap istri.
Kerasnya hati menyebabkan komunikasi begitu kering. Tidak ada dialog
dari hati ke hati, sehingga mata harus menangis karena perhatian orang
yang tercinta ada yang mengikis. Jarang sekali ada silaturrahmi, justru
antar anggota keluarga yang tinggal serumah. Sehingga masing-masing
berjalan sendiri. Kalau ada kebahagiaan, ia rasakan sendiri. Kalau ada
keperihan, ia tangisi sendiri.
Tingginya tuntutan psikis terhadap
istri, menyebabkan suami kurang bisa merasakan kebaikan-kebaikan istri
walaupun sebenarnya sangat besar. Ia selalu merasa kecewa dan kesal
terhadap istrinya. Padahal istri sudah melakukan banyak hal. Ia mudah
menyalahkan istrinya sebagai orang yang tidak bisa menjalankan perannya
dengan baik. Meskipun ia tahu setiap orang mempunyai kekurangan (sama seperti dirinya).
Tuntutan psikis yang tinggi menjadikan
apa yang dipandang selalu kurang. Kalau Anda memaki kacamata gelap,
matahari yang terang pun kelihatan redup!
0 komentar:
Posting Komentar