Selamat Datang di TOKO AZZAM 7

Selasa, April 30

Aurat Perempuan

Oleh : Ust. Yusuf Qardawi
 
Aurat perempuan dalam hubungannya dengan laki-laki lain atau perempuan yang tidak seagama, yaitu seluruh badannya, kecuali muka dan dua tapak tangan. Demikian menurut pendapat yang kami anggap lebih kuat. Karena dibolehkannya membuka kedua anggota tersebut –seperti kata Ar Razi– adalah karena ada suatu kepentingan untuk bekerja, mengambil dan memberi. Oleh karena itu orang perempuan diperintah untuk menutupi anggota yang tidak harus dibuka dan diberi rukhsah untuk membuka anggota yang biasa terbuka dan mengharuskan dibuka, justru syariat Islam adalah suatu syariat yang toleran.

Ar-Razi selanjutnya berkata: “Oleh karena membuka muka dan kedua tapak tangan itu hampir suatu keharusan, maka tidak salah kalau para ulama juga bersepakat, bahwa kedua anggota tersebut bukan aurat.”
Adapun kaki, karena terbukanya itu bukan suatu keharusan, maka tidak salah juga kalau mereka itu berbeda pendapat (ikhtilaf), apakah dia itu termasuk aurat atau tidak?[1]

Sedang aurat orang perempuan dalam hubungannya dengan duabelas orang seperti yang disebut dalam ayat an-Nur itu, terbatas pada perhiasan (zinah) yang tidak tersembunyi, yaitu telinga, leher, rambut, dada, tangan dan betis. Menampakkan anggota-anggota ini kepada duabelas orang tersebut diperkenankan oleh Islam. Selain itu misalnya punggung, kemaluan dan paha tidak boleh diperlihatkan baik kepada perempuan atau laki-laki kecuali terhadap suami.

Pemahaman terhadap ayat ini lebih mendekati kepada kebenaran daripada pendapat sementara ulama yang mengatakan, bahwa aurat perempuan dalam hubungannya dengan mahram hanyalah antara pusar dan lutut. Begitu juga dalam hubungannya dengan sesama perempuan. Bahkan apa yang dimaksud oleh ayat tersebut yang kiranya lebih mendekati kepada pendapat sebagian ulama, yaitu: “Bahwa aurat perempuan terhadap mahramnya ialah anggota yang tidak tampak ketika melayani. Sedang apa yang biasa tampak ketika bekerja di rumah, mahram-mahram itu boleh melihatnya.”

Justru itu Allah memerintahkan kepada perempuan-perempuan mu’minah hendaknya mereka itu memakai jilbab ketika keluar rumah, supaya berbeda dengan perempuan-perempuan kafir dan perempuan-perempuan lacur. Untuk itu pula Allah perintahkan kepada Nabi-Nya supaya menyampaikan pengumuman Allah ini kepada ummatnya; yang berbunyi sebagai berikut:

“Hai Nabi! Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min semua hendaklah mereka menghulurkan jilbab-jilbab mereka atas (muka-muka) mereka. Yang demikian itu lebih mendekati mereka untuk dikenal supaya mereka tidak diganggu.” (al-Ahzab: 59)

Jilbab, yaitu pakaian yang lebarnya semacam baju kurung untuk dipakai perempuan guna menutupi badannya.

Sebagian perempuan jahiliah apabila keluar rumah, mereka menampakkan sebagian kecantikannya, misalnya dada, leher dan rambut, sehingga mereka ini diganggu oleh laki-laki fasik dan yang suka iseng, kemudian turunlah ayat di atas yang memerintahkan kepada orang-orang perempuan mu’minah untuk menghulurkan jilbabnya itu sehingga sedikitpun bagian-bagian tubuhnya yang biasa membawa fitnah itu tidak tampak. Dengan demikian secara lahiriah mereka itu dikenal sebagai wanita yang terpelihara (afifah) yang tidak mungkin diganggu oleh orang-orang yang suka iseng atau orang-orang munafik.

Jadi jelasnya, bahwa ayat tersebut memberikan illah (alasan) perintahnya itu karena kawatir perempuan-perempuan muslimah itu diganggu oleh orang-orang fasik dan menjadi perhatian orang-orang yang suka iseng. Bukan ketakutan yang timbul dari perempuan itu sendiri atau karena tidak percaya kepada mereka, sebagaimana anggapan sementara orang, sebab perempuan yang suka menampakkan perhiasannya, yang berjalan dengan penuh bergaya (in action) dan bicaranya dibuat-buat, sering membuat perhatian orang laki-laki dan membikin sasaran orang-orang yang suka iseng.

Ini cocok dengan firman Allah yang mengatakan:
“Janganlah perempuan-perempuan itu berlaku lemah dengan perkataannya, sebab akan menaruh harapan orang yang dalam hatinya ada penyakit.” (Al Ahzab: 32)

Islam memperkeras persoalan menutup aurat dan menjaga perempuan muslimah. Hanya sedikit sekali perempuan diberinya rukhsah (keringanan), misalnya perempuan-perempuan yang sudah tua.

Firman Allah:
“Dan perempuan-perempuan yang sudah putus haidhnya dan tidak ada harapan untuk kawin lagi, maka tidak berdosa baginya untuk melepas pakaiannya, asalkan tidak menampak-nampakkan perhiasannya. Tetapi kalau mereka menjaga diri akan lebih baik bagi mereka, dan Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (An Nur: 60)

Yang dimaksud al-qawa’id (perempuan-perempuan yang duduk), yaitu perempuan-perempuan yang sudah tidak haidh dan tidak beranak lagi karena sudah tua. Justru itu mereka sudah tidak ada keinginan untuk kawin dan sudah tidak suka kepada laki-laki, begitu juga laki-laki itu sendiri sudah tidak suka kepada mereka.

Untuk mereka ini, Allah memberikan kelonggaran dan tidak menganggap suatu perbuatan dosa, jika mereka itu menanggalkan sebagian pakaian luar yang biasa tampak, seperti baju kurung, kebaya, kudung dan sebagainya.

Al-Quran memberikan batas rukhsah ini dengan kata: tidak menampak-nampakkan perhiasannya, yakni tidak bermaksud menanggalkan pakaiannya itu untuk menunjuk-nunjukkan. Akan tetapi kelonggaran ini diberikan jika memang mereka itu memerlukan.

Berdasar rukhsah ini, maka kiranya yang lebih afdhal dan lebih baik hendaknya mereka tetap menjaga diri dengan selalu mengenakan pakaian-pakaian tersebut, untuk mencari kesempurnaan dan supaya terhindar dari segala syubhat. Karena itu Allah mengatakan dan kalau mereka itu menjaga diri adalah lebih baik bagi mereka.


[1] Tafsir Razi 23: 205-206.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Terimakasih telah berkunjung