Oleh : Ust. Yusuf Qardawi
Aurat perempuan dalam hubungannya dengan
laki-laki lain atau perempuan yang tidak seagama, yaitu seluruh
badannya, kecuali muka dan dua tapak tangan. Demikian menurut pendapat
yang kami anggap lebih kuat. Karena dibolehkannya membuka kedua anggota
tersebut –seperti kata Ar Razi– adalah karena ada suatu kepentingan
untuk bekerja, mengambil dan memberi. Oleh karena itu orang perempuan
diperintah untuk menutupi anggota yang tidak harus dibuka dan diberi
rukhsah untuk membuka anggota yang biasa terbuka dan mengharuskan
dibuka, justru syariat Islam adalah suatu syariat yang toleran.
Ar-Razi selanjutnya berkata: “Oleh
karena membuka muka dan kedua tapak tangan itu hampir suatu keharusan,
maka tidak salah kalau para ulama juga bersepakat, bahwa kedua anggota
tersebut bukan aurat.”
Adapun kaki, karena terbukanya itu bukan
suatu keharusan, maka tidak salah juga kalau mereka itu berbeda
pendapat (ikhtilaf), apakah dia itu termasuk aurat atau tidak?[1]
Sedang aurat orang perempuan dalam
hubungannya dengan duabelas orang seperti yang disebut dalam ayat an-Nur
itu, terbatas pada perhiasan (zinah) yang tidak tersembunyi, yaitu
telinga, leher, rambut, dada, tangan dan betis. Menampakkan
anggota-anggota ini kepada duabelas orang tersebut diperkenankan oleh
Islam. Selain itu misalnya punggung, kemaluan dan paha tidak boleh
diperlihatkan baik kepada perempuan atau laki-laki kecuali terhadap
suami.
Pemahaman terhadap ayat ini lebih
mendekati kepada kebenaran daripada pendapat sementara ulama yang
mengatakan, bahwa aurat perempuan dalam hubungannya dengan mahram
hanyalah antara pusar dan lutut. Begitu juga dalam hubungannya dengan
sesama perempuan. Bahkan apa yang dimaksud oleh ayat tersebut yang
kiranya lebih mendekati kepada pendapat sebagian ulama, yaitu: “Bahwa
aurat perempuan terhadap mahramnya ialah anggota yang tidak tampak
ketika melayani. Sedang apa yang biasa tampak ketika bekerja di rumah,
mahram-mahram itu boleh melihatnya.”
Justru itu Allah memerintahkan kepada
perempuan-perempuan mu’minah hendaknya mereka itu memakai jilbab ketika
keluar rumah, supaya berbeda dengan perempuan-perempuan kafir dan
perempuan-perempuan lacur. Untuk itu pula Allah perintahkan kepada
Nabi-Nya supaya menyampaikan pengumuman Allah ini kepada ummatnya; yang
berbunyi sebagai berikut:
“Hai Nabi! Katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min
semua hendaklah mereka menghulurkan jilbab-jilbab mereka atas
(muka-muka) mereka. Yang demikian itu lebih mendekati mereka untuk
dikenal supaya mereka tidak diganggu.” (al-Ahzab: 59)
Jilbab, yaitu pakaian yang lebarnya semacam baju kurung untuk dipakai perempuan guna menutupi badannya.
Sebagian perempuan jahiliah apabila
keluar rumah, mereka menampakkan sebagian kecantikannya, misalnya dada,
leher dan rambut, sehingga mereka ini diganggu oleh laki-laki fasik dan
yang suka iseng, kemudian turunlah ayat di atas yang memerintahkan
kepada orang-orang perempuan mu’minah untuk menghulurkan jilbabnya itu
sehingga sedikitpun bagian-bagian tubuhnya yang biasa membawa fitnah itu
tidak tampak. Dengan demikian secara lahiriah mereka itu dikenal
sebagai wanita yang terpelihara (afifah) yang tidak mungkin diganggu
oleh orang-orang yang suka iseng atau orang-orang munafik.
Jadi jelasnya, bahwa ayat tersebut
memberikan illah (alasan) perintahnya itu karena kawatir
perempuan-perempuan muslimah itu diganggu oleh orang-orang fasik dan
menjadi perhatian orang-orang yang suka iseng. Bukan ketakutan yang
timbul dari perempuan itu sendiri atau karena tidak percaya kepada
mereka, sebagaimana anggapan sementara orang, sebab perempuan yang suka
menampakkan perhiasannya, yang berjalan dengan penuh bergaya (in action)
dan bicaranya dibuat-buat, sering membuat perhatian orang laki-laki dan
membikin sasaran orang-orang yang suka iseng.
Ini cocok dengan firman Allah yang mengatakan:
“Janganlah perempuan-perempuan itu
berlaku lemah dengan perkataannya, sebab akan menaruh harapan orang yang
dalam hatinya ada penyakit.” (Al Ahzab: 32)
Islam memperkeras persoalan menutup
aurat dan menjaga perempuan muslimah. Hanya sedikit sekali perempuan
diberinya rukhsah (keringanan), misalnya perempuan-perempuan yang sudah
tua.
Firman Allah:
“Dan perempuan-perempuan yang sudah
putus haidhnya dan tidak ada harapan untuk kawin lagi, maka tidak
berdosa baginya untuk melepas pakaiannya, asalkan tidak
menampak-nampakkan perhiasannya. Tetapi kalau mereka menjaga diri akan
lebih baik bagi mereka, dan Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.”
(An Nur: 60)
Yang dimaksud al-qawa’id
(perempuan-perempuan yang duduk), yaitu perempuan-perempuan yang sudah
tidak haidh dan tidak beranak lagi karena sudah tua. Justru itu mereka
sudah tidak ada keinginan untuk kawin dan sudah tidak suka kepada
laki-laki, begitu juga laki-laki itu sendiri sudah tidak suka kepada
mereka.
Untuk mereka ini, Allah memberikan
kelonggaran dan tidak menganggap suatu perbuatan dosa, jika mereka itu
menanggalkan sebagian pakaian luar yang biasa tampak, seperti baju
kurung, kebaya, kudung dan sebagainya.
Al-Quran memberikan batas rukhsah ini
dengan kata: tidak menampak-nampakkan perhiasannya, yakni tidak
bermaksud menanggalkan pakaiannya itu untuk menunjuk-nunjukkan. Akan
tetapi kelonggaran ini diberikan jika memang mereka itu memerlukan.
Berdasar rukhsah ini, maka kiranya yang
lebih afdhal dan lebih baik hendaknya mereka tetap menjaga diri dengan
selalu mengenakan pakaian-pakaian tersebut, untuk mencari kesempurnaan
dan supaya terhindar dari segala syubhat. Karena itu Allah mengatakan
dan kalau mereka itu menjaga diri adalah lebih baik bagi mereka.
0 komentar:
Posting Komentar