لَيْسَ الْمُؤْمِنُ الَّذِي يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ
“Bukanlah mukmin sejati, orang yang kenyang, sementara tetangga di sampingnya kelaparan.” (HR. Abu Ya’la dalam Musnadnya, dan sanadnya dinilai hasan oleh Husain Salim Asad)
Beberapa hari yang lalu ada seorang marbut (penjaga mushollah) yang bercerita tentang dirinya, dalam ceritanya itu dia mengatakan bahwa dia pernah tidak makan 2 hari lantaran tidak ada uang untuk membeli makanan, maklum anak-2nya jauh dirantau. Tapi ada tetangga disana, bahkan ada saudara kandungnya yang hidup sangat-sangat berkecukupan. Dia seorang marbut, yang mungkin penghasilannya hanya dari mushollah dan sedekah jamaah, tapi sekali lagi dia adalah tetangga kenapa sampai tidak ada yang tau bahwa dia kelaparan. Beliau menceritakan itu sembari meneteskan air mata, beliau juga mengatakan tidak sampai hati meminta-minta pada anaknya juga kepada jamaah atau tetangga.
Keislaman dan kemukminan seseorang bisa dipertanyakan saat mereka acuh kepada tetangga, Allah dan Rasul-Nya senantiasa berpesan agar menunaikan hak-hak bertetangga. Apakah ajaran ini sudah mulai terkikis habis atau memang mereka tau tapi tak mau tau? Saya pernah membaca sebuah hadist (saya lupa perawi dan tingkatan hadist ini) yang intinya jika sampai seorang tetangga suatu kaum mencuri atau berbuat maksiat lantaran lapar yang dideritanya maka dosanya adalah milik kaum itu. Yang akhirnya adzab Allah akan ditimpakan pada kaum tersebut.
Sudah sedemikian keraskah hati kita sampai tidak mau memperhatikan tetangga kita?
Allah berpesan dalam Alquran,
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى
وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ
وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
“Beribadahlah kepada Allah dan jangan menyekutukannya dengan sesuatu apapun, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak yatim, orang miskin, tetangga atau kerabat dekat, tetangga atau kerabat jauh, rekan di perjalanan, Ibnu Sabil, dan kepada budak yang kalian miliki. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan apa yang dia miliki.” (QS. An-Nisa: 36).
Tak bisakah ayat ini meluluhkan hati ini wahai orang-orang yang beriman? Kemanakah keimanan kita saat tetangga kita kelaparan? Tidakkan takut saat mereka (tetangga yg didzolimi) menuntut kita saat di akhirat nanti? Apakah puasa ini tidak juga meluluhkan hati ini?
Sebagai hamba yang sangat fakir dan dhoif ini saya berwasiat pada diri saya pribadi dan yang membaca tulisan ini, mulailah peduli pada sekitar utamanya tetangga, dengan izin Allah keberkahan itu akan terasa saat kita membangun rasa peduli itu. Jangan sampai kampung kita terkena adzab atau bahkan dicabut Rahmat Allah gara-gara tidak ada lagi tetangga yang saling peduli. Tidakkah adzab Allah begitu menakutkan?
0 komentar:
Posting Komentar